Suatu hari,
saat mengantarkan anak ke dokter saya berkesempatan ngobrol dengan seorang ibu
yang juga sedang mengantar cucunya berobat. Beliau datang bersama menantunya,
yang juga ibu dari sang cucu. Si ibu ini merasa sedih karena anaknya yang
bungsu ( ayah si cucu ) tak kunjung beroleh pekerjaan dengan gaji yang cukup.
Dengan terpaksa si anak bekerja sebagai honorer di sebuah instansi pemerintah
dengan gaji tak sampai Rp 500.000,-. Saya turut prihatin, karena berdasarkan
cerita sang ibu, anak bungsunya ini adalah sarjana ekonomi. Tetapi yang lebih
membuat saya prihatin lagi adalah saat beliau bercerita bahwa demi anaknya ia
pernah tertipu puluhan juta rupiah. Karena ada orang yang menjanjikan
pekerjaan, tapi ternyata bohong belaka. Yang semakin membuat saya prihatin
ternyata si ibu tidak merasa kapok. Bahkan beliau meminta si anak untuk mencari
informasi pejabat mana yang bisa “membawa” anaknya menjadi PNS. Berapapun
bayarnya akan dipenuhi.
Saya pun lantas bertanya “Nggak
takut kena tipu lagi, Bu?”
Beliau menjawab, “Lha gimana lagi
Jeng. Bawa anak orang jauh – jauh, kalau nggak dikasih makan ya kasihan”
“ Kok nggak dipake modal aja Bu?”
usul saya karena merasa eman, sekaligus kuatir kalo Ibu ini kena tipu lagi
“ Aduh, Jeng anak saya itu nggak
bisaan. Kalau ada orang ngutang
pasti dikasih dan nggak berani nagih. Sudah berkali – kali seperti itu...” si
ibu setengah putus asa. Obrolan
kami terpaksa berhenti sampai di situ karena tiba giliran saya masuk ke ruang
periksa.
Sampai di rumah saya termenung – menung tentang
banyak hal, di antaranya :
bekal apa yang sudah saya persiapkan untuk anak – anak. Secara materi jelas saya tidak akan mampu
seperti ibu tadi. Suami hanya PNS yang gajinya setiap bulan terpotong cicilan
ini itu ( bukan saya tidak bersyukur lho). Saya sendiri hanya guru swasta.
Sedangkan anak kami tiga. Orang tua juga bukan orang yang berlimpah harta.
Sehingga tak banyak harta yang diwariskan kepada kami. Hasil diskusi dengan
suami, kami sepakat untuk memberikan bekal bagi anak – anak kami berupa :
- Bekal
agama.
Kami yakin, tak akan ada korupsi jika seseorang
memiliki bekal agama yang baik dalam menjalani hidupnya. Itu sebabnya kami
punya waktu – waktu khusus untuk mengajari anak – anak kami tentang doa, ibadah
dan sebagainya.
- Ketrampilan
hidup
Pendidikan tinggi tak menjamin seseorang sukses
secara ekonomi. Kisah ibu tadi mungkin bisa menjadi contoh. Sarjana ekonomi
tapi tak berdaya untuk sekedar menciptakan lapangan kerja bahkan untuk dirinya
sendiri. Bahkan ia menggantungkan hidupnya pada orangtuanya untuk menghidupi
anak istrinya. Untuk itu sejak dini kami mengajari anak – anak mandiri. Misalnya, mandi, makan, membereskan mainan
dan lainnya. Meskipun hasilnya jauh dari baik, tapi kami yakin semua itu bagian
dari proses. Memang merepotkan harus membereskan sisa makanan anak – anak yang
berceceran, tapi akan lebih merepotkan jika sampai besar anak – anak masih
harus disuapi. Ke depannya kami ingin mengajari anak – anak mandiri mengelola
uang sakunya. Sehingga saat mereka dewasa bisa mengelola keuangannya dengan
baik.
- Bekal ilmu
Ini bekal dunia dan akhirat. Dengan bekal ilmu,
manusia akan mampu menghadapi persoalan – persoalan dalam hidupnya. Untuk hal
ini, kami bertekad menyekolahkan anak – anak setinggi – tingginya. Karena
orangtuanya sarjana, maka mereka minimal harus lulus S2. Jika ilmu ini mereka
bagikan, maka mereka juga akan memperoleh pahala yang tak ada putusnya.
Kita tak bisa selamanya hidup untuk orang lain, termasuk anak kita. Maka,
kita harus membekali mereka agar mampu menghadapi dunia ini sendiri. Semoga
kami mampu mewujudkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar