Suatu hari,
saat mengantarkan anak ke dokter saya berkesempatan ngobrol dengan seorang ibu
yang juga sedang mengantar cucunya berobat. Beliau datang bersama menantunya,
yang juga ibu dari sang cucu. Si ibu ini merasa sedih karena anaknya yang
bungsu ( ayah si cucu ) tak kunjung beroleh pekerjaan dengan gaji yang cukup.
Dengan terpaksa si anak bekerja sebagai honorer di sebuah instansi pemerintah
dengan gaji tak sampai Rp 500.000,-. Saya turut prihatin, karena berdasarkan
cerita sang ibu, anak bungsunya ini adalah sarjana ekonomi. Tetapi yang lebih
membuat saya prihatin lagi adalah saat beliau bercerita bahwa demi anaknya ia
pernah tertipu puluhan juta rupiah. Karena ada orang yang menjanjikan
pekerjaan, tapi ternyata bohong belaka. Yang semakin membuat saya prihatin
ternyata si ibu tidak merasa kapok. Bahkan beliau meminta si anak untuk mencari
informasi pejabat mana yang bisa “membawa” anaknya menjadi PNS. Berapapun
bayarnya akan dipenuhi.